kerusakan moral

Ketika Kaum Glamour Menjadi Idola

Dampak kasus beredarnya video mesum artis ternama beberapa waktu silam merupakan persoalan yang harus disikapi tegas oleh semua pihak. Upaya melindungi generasi muda dari proses dekadensi moral menjadi alasan kuat mengingat pelaku-pelaku yang diduga “beratraksi” dalam video itu adalah para public figure yang sedikit banyak menjadi contoh perilaku anak-anak muda kita.

APA yang terjadi dengan video tersebut menunjukkan kemerosotan moral figur publik yang makin nyata. Mereka bukanlah pasangan suami-istri, sehingga hubungan intim yang mereka lakukan dikategorikan sebagai perzinaan. Perilaku mereka telah mendesakralisasi hubungan laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan dan dikhawatirkan merusak moral generasi muda yang mengidolakan mereka.

Jika dahulu perbuatan tersebut masih tertutup dan malu-malu dilakukan, sekarang makin terbuka, bahkan ada yang bangga dengan perbuatan tersebut. Sekarang ini para artis tidak saja melakukan pornoaksi dan pornografi, tetapi juga perbuatan kriminal lain, seperti menyalahgunakan narkoba. Ini memberi andil pada keruntuhan moral bangsa. Sebab, sebagai figur publik, mereka diidolakan oleh anak muda sehingga apa yang mereka perbuat bisa ditiru.

Para artis bagaikan magnet yang mampu menyedot antusiasme dahsyat kalangan remaja kita. Soal idola, kata yang satu ini seolah-olah sudah mendarah daging dalam dunia remaja. Anehnya, kebanyakan tokoh yang diidolakan para remaja adalah kaum selebritis (penyanyi, bintang film, bintang iklan, model, pemain sinetron). Sikap mengidola ini bukan tidak mungkin bisa berubah menjadi “pemujaan” sehingga tanpa sadar para remaja kemudian mengikuti gaya hidup para selebritis. Mulai dari soal pakaian, dandanan rambut, segala macam aksesori yang menempel, selera musik hingga pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan, semuanya ingin ditiru.
Yang lebih mengkhawatirkan, ketika kaum selebritis dipandang sebagai teladan hidup. Tanpa bermaksud mengkambing-hitamkan keberadaan selebritis, namun kenyataannya memang tidak bisa dipungkiri bahwa dunia selebritis tak sepi dari berbagai kehidupan glamor, pesta, bahkan tak sedikit yang nyenggol-nyenggol narkoba dan seks bebas. Masih bagus kalau selebritis yang diidolakan itu terbilang “bersih” dari hal-hal semacam itu. Namun, kalau yang diidolakan itu doyan pesta (narkoba maupun seks), bagaimana jadinya remaja kita jika mencontek perilaku mereka. Ekspresi yang berlebihan dalam memperlakukan idola ini bukan tidak mungkin dapat menjebak remaja hidup di bawah bayang-bayang “keagungan” sang idola.

Hal ini dikhawatirkan membuat remaja tak bisa menjadi dirinya sendiri (mandiri). Kerinduan masyarakat terhadap kehadiran sang idola, sebenarnya adalah sesuatu yang lumrah. Secara psikologis, ia merupakan “penampakan” dari proses identifikasi dan pencarian jati diri. Fenomena normal dan universal itu terutama menggejala di kalangan remaja. Sebagai anak baru gede (ABG), mereka butuh figur nyata yang layak dikagumi dan diteladani. Karena itu, dalam batas-batas sebagai sebuah gejala perkembangan kejiwaan, sesungguhnya tidak ada hal yang perlu dirisaukan.

Masalahnya kemudian menjadi rumit dan mencemaskan manakala fenomena psikologis yang normal dan universal itu ditunggangi dan dimanipulasi oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat struktural, baik yang datangnya dari pusat kekuasaan yang cenderung hegemonistik maupun dari jaringan kepentingan bisnis yang cenderung monopolistik. Dalam kondisi begitu, kekaguman orang pada sosok tertentu sudah tidak jujur lagi. Hal itu penuh kepalsuan, sarat dengan rekayasa, dan cenderung hipokrit dan irasional. Produk seni pun tidak lagi mengacu kepada keluhuran nilai-nilai estetika, etika, dan agama. Bahkan yang berlangsung sebaliknya. Nilai-nilai estetika, etika, dan agama sengaja ditenggelamkan demi mengumbar syahwat “keserbabolehan” alias permisivisme.
Tak disangkal lagi, televisi dan dunia maya (internet) kini menempati posisi yang demikian strategis. Pada posisi itu, kedua media ini, menurut Neil Postman, telah menjadi agen yang punya “kekuatan magnetis”, mampu menyedot sejumlah orang untuk menjadi “pengguna yang tekun”, pemirsa yang betah berjam-jam memelototi layar kaca dan berselancar di dunia maya. Sebagai instrumen terpenting dalam kebudayaan massa, pengelola program mengemas dan mendesain dengan rapi lewat berlapis-lapis citra selebritis. Apa yang dilakukan, dimakan, dikenakan, dan dibeli oleh sang idola menjadi hal yang terlampau penting untuk dilewatkan publik penggemarnya. Kepentingan para pebisnis tampak kental di situ.

Media massa remaja (majalah maupun media online) yang mengekspose kaum selebritas bisa dipastikan kebanjiran iklan lantaran pembacanya memang banyak. Berawal dari rasa ingin tahu seseorang terhadap orang lain yang begitu besar, para pebisnis pun menangkap peluang tersebut. Lihatlah di berbagai majalah remaja, yang paling banyak diekspose adalah kaum selebritis. Dari mulai gosip, gaya hidup, sampai karier mereka, semuanya ditampilkan.

Betapa berderetnya berita yang menampilkan dunia kaum glamour ini. Meski bukan berita besar, semisal berita selebritis yang berulang tahun, seputar koleksi sepatu, tas, topi, ikat pinggang atau bagaimana mereka menikmati liburan, semua menjadi berita yang laku keras diserbu penggemar. Semua itu dibuat seolah-olah memang agar para remaja memasangnya sebagai idola. Awalnya bisa saja hanya sekadar simpati, tapi lama-kelamaan, karena terus diekspos dengan hebohnya, maka perasaan mengidola itu jadi kian kental. Yang juga tak kalah mengkhawatirkan, yakni remaja kita terus dibuai dengan berita-berita “sampah” yang memang tidak ada hubungannya dengan persoalan kehidupan manusia yang berat dan kritis.

Remaja pun dirasuki jiwa ketidakpedulian terhadap kondisi sekelilingnya. Daripada uang ratusan ribu dipakai menonton konser yang senangnya sesaat misalnya, kalau dana itu disumbangkan untuk teman-teman mereka yang kelaparan di pengungsian akibat bencana, tentu akan lebih bermanfaat dan melatih remaja untuk memiliki solidaritas. Mengapa media yang ada tidak menjadi jalan bagi bangkitnya sikap kepedulian mereka terhadap sesama ketimbang menawarkan banyak hal yang membuat remaja berpikir dan bersikap individualis, tak mau tahu apa yang terjadi di sekelilingnya?

Bagi mereka, yang penting happy. Ini tentu berbahaya bagi pertumbuhan kepribadian mereka ke depan. Sebab, bukankah masa depan suatu bangsa terletak di tangan para generasi muda? Jika kini banyak generasi muda yang rusak, akan jadi apa bangsa ini kelak? Akankah bangsa ini nanti kita serahkan kepada generasi seperti itu? Generasi yang hanya memikirkan kesenangan sendiri, tanpa mau peduli terhadap nasib orang lain?

Solusi Islam dalam Pembentukan Moral

DEKADENSI moral sudah menjadi fenomena umum yang melanda umat manusia sekarang ini. Terutama peradaban barat yang menyuarakan kebebasan telah mengalami kerusakan moral yang luar biasa. Ironisnya budaya barat yang sudah mengalami kerusakan moral itu mereka sebarkan ke negeri-negeri muslim. Akibatnya, budaya lokal masyarakat muslim terkontaminasi dengan budaya barat, dan pada akhirnya budaya lokal mengalami kegoncangan dan semakin dekat dengan gaya hidup barat. Indonesia adalah salah satu korbannya.

Melihat perkembangan terakhir umat Islam di Indonesia tergambar dengan jelas betapa merosotnya akhlak sebagian umat Islam. Dekadensi moral terjadi terutama di kalangan remaja. Sementara pembendungannya masih berlarut-larut dan dengan konsep yang tidak jelas.
Rusaknya moral umat tidak terlepas dari upaya jahat dari pihak luar umat yang dengan sengaja menebarkan berbagai penyakit moral dan konsepsi agar umat goyah dan berikutnya tumbang. Sehingga yang tadinya mayoritas menjadi minoritas dalam kualitas. Keadaan semakin buruk ketika pihak aparat terlibat dan melemahnya peran ulama dan tokoh masyarakat.

Generasi muda sekarang sudah tercengkeram fenomena pergaulan bebas (free life style). Gaya hidup seperti ini sebenarnya sangat jauh dari nilai-nilai Islam dan budaya Indonesia. Namun karena ada kalangan tertentu yang ingin merusak moral bangsa, maka lambat laun generasi muda kita akhirnya terjebak juga. Dalam hal ini, peran media sangatlah besar, baik media cetak maupun elektronik. Coba kita lihat tayangan televisi yang bertema dunia sekolah, bukannya mengajak anak-anak Indonesia untuk rajin belajar, film-film yang ada malah mengajak mereka untuk berpacaran, hura-hura dan bergaul bebas. Imbasnya benar-benar dirasakan oleh anak-anak Indonesia, dari masyarakat kota sampai masyarakat desa. Akibatnya mereka mengalami kemerosotan moral yang cukup signifikan.

Kaum perempuan terseret jauh kepada peradaban Barat dengan slogan kebebasan dan feminisme yang berakibat kepada rusaknya moral mereka, maka tak jarang mereka menjadi sasaran eksploitasi. Dengan dalih kebebasan berekspresi, setiap inci tubuh perempuan dijadikan komoditi. Membuka aurat, bahkan sampai adegan berzina pun dilakoni, asal mendatangkan materi. Aurat perempuan dilombakan dan dinilai, mana yang paling mendatangkan ‘hoki’. Anehnya, dengan penuh kesadaran, kaum perempuan antri minta diekploitasi; bahkan semakin hari kian menggila.

Untuk mengatasi kerusakan moral yang sudah kronis seperti ini, Islam mempunyai solusi tepat untuk dapat mengurangi dan meredakan hal itu. Konsep Islam yang mengajarkan akhlak al-karimah adalah satu hal yang ampuh dalam mengatasi kerusakan moral. Bahkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan akhlak.

Dekadensi moral yang berupa pergaulan bebas, apabila umat Islam kembali kepada ajaran Islam, maka secara tegas Islam melakukan tindakan preventif dengan ayat al-Qur’an yang mengatakan “wala taqrabu zina”, jangan kamu mendekati zina. Prakteknya, Islam melarang umat melakkan perbuatan yang bisa mengarah ke perzinaan, seperti: SMS-an, chatting, facebook-an, pacaran, lelaki dan perempuan bukan mahrom berduaan di tempat sepi, goncengan, dll.
Hal ini adalah tindakan antisipatif yang Islam berikan untuk mencegah terjadinya pergaulan bebas. Dalam Islam juga dikenal istilah mahrom, dua orang lawan jenis yang bukan mahrom dilarang melakukan hubungan, kecuali keduanya telah menikah. Selain itu, Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga kesucian dengan menutup aurat dimana ia tak didapati dalam ajaran-ajaran lain. Dalam Islam menutup aurat adalah hukumnya wajib bagi pria dan wanita. Ha itu tidaklah lain untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya.

Jika sistem Islam diterapkan secara kafah tentu persoalan pergaulan bebas tidak akan terjadi. Dalam sejarah panjang penerapan Syariah Islam dari masa Rasulullah hingga jatuhnya Kekhilafahan Turki Utsmani, kita tidak pernah mendapatkan persoalan ini mengemuka di tengah masyarakat.