Anda mungkin masih ingat kata-kata Bung Karno, “Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia!”
INILAH petikan pidato Presiden Soekarno yang benar-benar menggetarkan. Mengapa seorang Bung Karno mengatakan hal seperti itu? Apa yang menyebabkan pemuda begitu hebat di mata seorang pemimpin besar seperti Bung Karno?
Bung Karno memang menjadikan pemuda sebagai garda terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan hanya dengan sepuluh pemuda tangguh, dia yakin akan mengguncangkan dunia. Kenyataannya, kemerdekaan Indonesia memang diraih dengan semangat kepemudaan yang tinggi, dilakukan oleh orang-orang muda yang progresif, dinamis, berani, heroik dan sedikit nekat. Modal inilah yang telah menjadikan bangsa ini dapat meraih kemerdekaannya. Karena tanpa keberanian, tanpa sedikit nekat, mungkin proklamasi kemerdekaan sulit terwujud.
Sejarah menunjukkan bahwa proklamasi terjadi setelah beberapa orang pemuda yang dipimpin oleh Chaerul Saleh “menculik” Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan RI.
Para pemuda itu telah kehilangan kesabaran pada PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang terkesan lamban. Proklamasi Kemerdekaan RI memang kemudian terjadi setelah peristiwa Rengasdengklok tersebut, yang membuktikan bahwa peran pemuda dalam mengubah sebuah kebuntuan, memang tak terbantahkan.
Gerakan pemuda dan termasuk di dalamnya mahasiswa kadang memang memiliki kekuatan yang tidak terduga. Sejarah membuktikan, perubahan bangsa banyak dimulai oleh gerakan kepemudaan dan mahasiswa. Gerakan pemuda dan mahasiswa Argentina (1955) misalnya, berhasil meluluh-lantakkan kekuasaan diktator Juan Veron. Gerakan pemuda dan mahasiswa Kuba (1957) juga berhasil menghancurkan diktator Batista. Keberhasilan itu juga tercermin pada gerakan reformasi pemuda dan mahasiswa Indonesia tahun 1998.
Namun ironisnya, yang terjadi sekarang, perjuangan para pemuda itu tak dilanjutkan oleh orang-orang muda juga. Setelah didesak oleh pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan, Soekarno “meninggalkan” para pemuda pejuang itu. Gerakan reformasi juga tak jauh beda. Setelah reformasi bergulir, pemerintahan berganti, pemuda dan mahasiswa juga ditinggalkan. Para pemuda progresif itu bagaikan pendorong mobil mogok yang kemudian ditinggal kabur setelah perjuangan selesai. Akibatnya, agenda kepemudaan yang menggebu-gebu itu hilang ditelan gempita dan pemikiran yang sudah penuh trik dan polusi kaum tua yang mengaku lebih berpengalaman dan lebih segalanya.
Akibatnya, konsep-konsep reformasi dengan kekuatan semangat kepemudaan untuk mengubah tatanan negeri ini tak juga berjalan sesuai harapan. Kekuatan kaum muda Indonesia hanya bertahan sesaat dan kemudian kembali dikendalikan oleh ‘kaum tua’, orang-orang di belakang layar yang menjadi ‘penumpang gelap reformasi’. Kaum muda kembali harus gigit jari karena mereka kehilangan momentum untuk dapat merebut kembali hegemoni kekuasaan yang ternyata diberikan kepada orang-orang yang kurang ‘mengerti’ makna, semangat dan progresivitas kepemudaan.
Semangat perjuangan sebenarnya sudah menjadi bagian penting dari pemuda Indonesia sejak dulu. Dari sanalah semangat kepemudaan harus dipupuk dan dipertahankan. Semangat kepemudaan seharusnya tak boleh hilang diterjang berbagai godaan dan tantangan. Seharusnya semakin banyak tantangan, maka semangat kepemudaan itu semakin membaja, semakin kuat dan semakin terlatih.
Tantangan terbesar sesungguhnya yang dihadapi para pemuda dewasa ini adalah menghadapi globalisasi beserta dampak dan pengaruhnya yang terbilang luar biasa.
Anak-anak muda sekarang lebih bangga jika dapat berperilaku kebarat-baratan. Mulai dari gaya pakaian, makanan, bahkan sikap dan pandangan hidup. Stereotipe gaya hidup hura-hura itu ditunjukkan secara gamblang lewat stasiun televisi mulai dari gaya sinetron dengan pendekatan serba hedonis, hingga acara kontes menyanyi seperti Indonesian Idol, dll. Anak muda sekarang lebih semangat memacu diri lewat ‘jalan pintas’: Menjadi penyanyi terkenal, artis, lalu banyak penggemar dan kaya lewat profesi yang serba gemerlap. Cuma segelintir pemuda negeri ini yang lebih keras berupaya dalam hal prestasi dengan kegemilangan pengetahuan, penelitian, atau memeras otak dan keringat dari intelegensinya.
Kebanyakan anak muda justru ternina-bobo oleh angan-angan kosong yang ditawarkan sistem kapitalisme, tanpa menyadari bahwa ‘perjuangan’ mereka di jalur serba hedonis, hanya bisa dikategorikan dan menjadi sebuah perjudian atau harapan fatamorgana.
Untuk menjadikan peran pemuda di tengah masyarakat lebih konkret lagi, perlu adanya kesadaran kolektif para pemuda pada perjuangan yang sesungguhnya. Anak-anak muda perlu diberikan stimulan besar untuk dapat kembali ke “jalan yang benar” mempertahankan semangat perjuangan dan kepemudaan. Hal yang perlu pertama kali disikapi adalah tujuan ideal yang akan dicapai oleh para pemuda itu, bukan hanya sekadar tujuan antara. ‘Perjuangan’ para anak muda dalam kontes menyanyi, mungkin dapat dikatakan sebagai upaya untuk dapat mencari eksistensi diri. Namun perlu diingat bahwa ‘perjuangan’ itu hanya sekilas, menjadi euforia sesaat, tanpa ada makna yang lebih luas secara sosial dan bagi kemanusiaan.
Pemuda perlu mendefinisikan kembali tujuan dan visi hidupnya secara kolektif. Dari sini kemudian akan ada kesadaran kolektif untuk melanjutkan peran yang diwariskan para pemuda sebelumnya. Sebab hanya dengan semangat, kolektivitas, dan tekad yang kuat, bangsa ini dapat kembali berjaya dan bangkit dari keterpurukan.