Remaja

Pemuda yang Tak Mampu Lagi Mengguncang Dunia

Anda mungkin masih ingat kata-kata Bung Karno, “Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia!”

INILAH petikan pidato Presiden Soekarno yang benar-benar menggetarkan. Mengapa seorang Bung Karno mengatakan hal seperti itu? Apa yang menyebabkan pemuda begitu hebat di mata seorang pemimpin besar seperti Bung Karno?

Bung Karno memang menjadikan pemuda sebagai garda terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan hanya dengan sepuluh pemuda tangguh, dia yakin akan mengguncangkan dunia. Kenyataannya, kemerdekaan Indonesia memang diraih dengan semangat kepemudaan yang tinggi, dilakukan oleh orang-orang muda yang progresif, dinamis, berani, heroik dan sedikit nekat. Modal inilah yang telah menjadikan bangsa ini dapat meraih kemerdekaannya. Karena tanpa keberanian, tanpa sedikit nekat, mungkin proklamasi kemerdekaan sulit terwujud.

Sejarah menunjukkan bahwa proklamasi terjadi setelah beberapa orang pemuda yang dipimpin oleh Chaerul Saleh “menculik” Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan RI.
Para pemuda itu telah kehilangan kesabaran pada PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang terkesan lamban. Proklamasi Kemerdekaan RI memang kemudian terjadi setelah peristiwa Rengasdengklok tersebut, yang membuktikan bahwa peran pemuda dalam mengubah sebuah kebuntuan, memang tak terbantahkan.

Gerakan pemuda dan termasuk di dalamnya mahasiswa kadang memang memiliki kekuatan yang tidak terduga. Sejarah membuktikan, perubahan bangsa banyak dimulai oleh gerakan kepemudaan dan mahasiswa. Gerakan pemuda dan mahasiswa Argentina (1955) misalnya, berhasil meluluh-lantakkan kekuasaan diktator Juan Veron. Gerakan pemuda dan mahasiswa Kuba (1957) juga berhasil menghancurkan diktator Batista. Keberhasilan itu juga tercermin pada gerakan reformasi pemuda dan mahasiswa Indonesia tahun 1998.

Namun ironisnya, yang terjadi sekarang, perjuangan para pemuda itu tak dilanjutkan oleh orang-orang muda juga. Setelah didesak oleh pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan, Soekarno “meninggalkan” para pemuda pejuang itu. Gerakan reformasi juga tak jauh beda. Setelah reformasi bergulir, pemerintahan berganti, pemuda dan mahasiswa juga ditinggalkan. Para pemuda progresif itu bagaikan pendorong mobil mogok yang kemudian ditinggal kabur setelah perjuangan selesai. Akibatnya, agenda kepemudaan yang menggebu-gebu itu hilang ditelan gempita dan pemikiran yang sudah penuh trik dan polusi kaum tua yang mengaku lebih berpengalaman dan lebih segalanya.

Akibatnya, konsep-konsep reformasi dengan kekuatan semangat kepemudaan untuk mengubah tatanan negeri ini tak juga berjalan sesuai harapan. Kekuatan kaum muda Indonesia hanya bertahan sesaat dan kemudian kembali dikendalikan oleh ‘kaum tua’, orang-orang di belakang layar yang menjadi ‘penumpang gelap reformasi’. Kaum muda kembali harus gigit jari karena mereka kehilangan momentum untuk dapat merebut kembali hegemoni kekuasaan yang ternyata diberikan kepada orang-orang yang kurang ‘mengerti’ makna, semangat dan progresivitas kepemudaan.
Semangat perjuangan sebenarnya sudah menjadi bagian penting dari pemuda Indonesia sejak dulu. Dari sanalah semangat kepemudaan harus dipupuk dan dipertahankan. Semangat kepemudaan seharusnya tak boleh hilang diterjang berbagai godaan dan tantangan. Seharusnya semakin banyak tantangan, maka semangat kepemudaan itu semakin membaja, semakin kuat dan semakin terlatih.

Tantangan terbesar sesungguhnya yang dihadapi para pemuda dewasa ini adalah menghadapi globalisasi beserta dampak dan pengaruhnya yang terbilang luar biasa.

Anak-anak muda sekarang lebih bangga jika dapat berperilaku kebarat-baratan. Mulai dari gaya pakaian, makanan, bahkan sikap dan pandangan hidup. Stereotipe gaya hidup hura-hura itu ditunjukkan secara gamblang lewat stasiun televisi mulai dari gaya sinetron dengan pendekatan serba hedonis, hingga acara kontes menyanyi seperti Indonesian Idol, dll. Anak muda sekarang lebih semangat memacu diri lewat ‘jalan pintas’: Menjadi penyanyi terkenal, artis, lalu banyak penggemar dan kaya lewat profesi yang serba gemerlap. Cuma segelintir pemuda negeri ini yang lebih keras berupaya dalam hal prestasi dengan kegemilangan pengetahuan, penelitian, atau memeras otak dan keringat dari intelegensinya.

Kebanyakan anak muda justru ternina-bobo oleh angan-angan kosong yang ditawarkan sistem kapitalisme, tanpa menyadari bahwa ‘perjuangan’ mereka di jalur serba hedonis, hanya bisa dikategorikan dan menjadi sebuah perjudian atau harapan fatamorgana.

Untuk menjadikan peran pemuda di tengah masyarakat lebih konkret lagi, perlu adanya kesadaran kolektif para pemuda pada perjuangan yang sesungguhnya. Anak-anak muda perlu diberikan stimulan besar untuk dapat kembali ke “jalan yang benar” mempertahankan semangat perjuangan dan kepemudaan. Hal yang perlu pertama kali disikapi adalah tujuan ideal yang akan dicapai oleh para pemuda itu, bukan hanya sekadar tujuan antara. ‘Perjuangan’ para anak muda dalam kontes menyanyi, mungkin dapat dikatakan sebagai upaya untuk dapat mencari eksistensi diri. Namun perlu diingat bahwa ‘perjuangan’ itu hanya sekilas, menjadi euforia sesaat, tanpa ada makna yang lebih luas secara sosial dan bagi kemanusiaan.

Pemuda perlu mendefinisikan kembali tujuan dan visi hidupnya secara kolektif. Dari sini kemudian akan ada kesadaran kolektif untuk melanjutkan peran yang diwariskan para pemuda sebelumnya. Sebab hanya dengan semangat, kolektivitas, dan tekad yang kuat, bangsa ini dapat kembali berjaya dan bangkit dari keterpurukan.

Antara Harapan dan keprihatinan

Moralitas pemuda telah menjadi keprihatinan yang tidak terbantahkan. Terbukti berbagai tindakan menyimpang dari jalur aqidah kerap dilakukan para pemuda. Baik dilakukan sendiri maupun secara “berjamaah”.

MESKI telah banyak artikel, makalah dan kajian yang membahas masalah ini, tetapi sebuah nasehat, perenungan dan penyadaran perlu untuk selalu diulang. Sebagaimana bisikan setan tidak pernah berhenti berngiang. Untuk itu kami coba utarakan beberapa faktor penyebabnya dengan harapan setelah mengetahui beberapa penyebab, pembaca bisa mencoba merenungkan untuk kemudian menyadari dan berusaha mencari solusi. Di bawah ini sebagian dari sekian banyak sebab terjadinya penyimpangan di kalangan remaja.

Buta dari Ma’rifatullah, Agama dan Rasul-Nya.

Hal mendasar dari runtuhnya akhlaq pemuda Islam dewasa ini adalah makin punahnya kemauan mempelajari apa yang selama ini telah mereka ikrarkan dari kalimat syahadat dan ilmu agama pada umumnya. Hal mana pengetahuan tentang Islam, ma’rifah (pengenalan) tentang Robb-nya dan Rasul-Nya, akan sangat berpengaruh pada pola kehidupannya.

Semua ilmu itu akan berbanding lurus dengan sikapnya sehari-hari. Semakin dalam pengetahuan agamanya, semakin banyak pula akhlaqul karimah terbias dalam perilakunya. Adapun jika yang terjadi malah sebaliknya, seorang pemuda yang kita sebut “alim” tapi perbuatannya tidak mencerminkan ilmunya, maka ini hanyalah sebuah kasus.

Kita tahu, masa muda adalah masa penuh gejolak. Masa-masa sulit dimana berbagai dorongan jiwa mendesak sama kuat. Akan tetapi meski demikian, kita juga harus menyadari masa muda merupakan titik tolak dari masa yang akan datang. Segala prestasi di masa ini adalah modal awal kesuksesan di masa tua. Dan rusaknya masa muda adalah gerbang pertama menuju kehancuran. Kalau toh ada seorang pemuda bejat yang sukses bertranformasi menjadi seorang sholeh yang sukses, maka bukan lain ini adalah Rahmat Allah yang Maha Luas. Dan tentunya kita tidak akan “berbejat-bejat ria” terlebih dahulu dengan harapan bisa sholeh kemudian.

Meneladani figur yang salah
Parameter sebuah perilaku dikatakan baik atau buruk, etis tidak etis, wajar atau kurang ajar, seringkali sangat dipengaruhi faktor figur publik. Dan efek yang ditimbulkan sangat bergantung intensitas show serta popularitas. Dalam hal ini, nampaknya yang beruntung mendapat “jabatan” sebagai publik figur paling berpengaruh adalah kalangan entertainer, khususnya artis. Meski sebenarnya bukan karena kelihaian mereka membaca kondisi sosial masyarakat sehingga bisa membuat apa yang mereka kerjakan menjadi mode yang dianut, melainkan masyarakatlah yang terlalu mudah menerima segala yang ada dan cenderung permisif. Respon tak lagi kritis. Pergeseran norma dan nilai yang ada seringkali tidak bisa dirasakan, khususnya di kalangan pemuda. Atsmosfer itu seakan hanya mengendap pada “tiang-tiang sepah” saja, itupun berakhir dengan kalimat pesimistis “yah maklumlah anak muda jaman sekarang”.

Contoh dan tauladan yang baik hanya muncul di beberapa forum tertentu. Itupun kadang hanya berupa kisah atau dongeng dari sang penyampai. Sedangkan penjelmaan dari tauladan itu secara nyata pada sikap individu sangatlah sedikit. Dengan demikian, jika para generasi muda Islam tidak pandai-pandai menyikapi, memilah-milih dan berusaha mengontrol diri dan lingkungan semampunya, bukan mustahil lingkungan bahkan dirinya sendiri akan terinfeksi penyakit tersebut.

Berangkat dari rasa tunduk pada Sang Pencipta dan keimanan kepadaNya, Pemuda Islam harus segera berbenah diri dan mulai melangkah.  “Telah ada pada diri Rasulullah contoh yang baik, bagi siapa yang berharap kepada Allah dan Hari Akhir.”  ( Al Ahzab : 21).

Mudah terpengaruh persepsi yang keliru

Gengsi, jaim (jaga image), ngetrend dan lainnya telah menjadi kamus sakti kawula muda. Siapa yang tidak mengamalkannya akan dicap ketinggalan jaman dan dikucilkan. Sebenarnya hal semacam itu tak sepenuhnya salah, akan tetapi jika yang terjadi ternyata, demi semua itu rela mengorbankan syariat bahkan menerjang garis batasnya tentu yang semacam ini tidak bisa dibenarkan. Dan kenyataannya apa yang disebut sebagai trend masa kini acapkali berbenturan dengan nilai –nilai syariat Islam. Efek sampingnya, banyak pengamalan syariat yang berlawanan dengan trend dianggap sesuatu tidak relevan dan ortodok (kuno).

Kita sepakat bahwa pelecehan seksual, zina (sex pranikah, free sex) kriminal dan narkotik serta miras adalah hal yang tidak akan pernah kita setujui. Namun sebagian kita kurang peka dengan perkara-perkara yang bisa menjadi jalan pembuka yang mengarah ke sana. Pacaran menjurus pada perzinahan dan sex pranikah, pakaian yang tidak sesuai syariat akan memantik pelecehan, berhias berlebihan memancing tindak kriminal. Seperti kata Bang Napi, kejahatan terjadi bukan karena ada niat dari pelaku tapi juga karena ada kesempatan.
Banyolan yang mengatakan “ kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk sorga” adalah pepesan kosong yang tidak pernah terjadi, karena roda nasib selalu berputar. Sebagai seorang muslim hendaknya kita selalu mendaki meninggalkan sesuatu yang rendah menuju yang lebih tinggi.

Kesuksesan generasi muda pendahulu kita adalah selalu melandaskan setiap pekerjaan pada apa yang telah digariskan Allah Subhanahu Wata’ala. Kesabaran seorang pemuda bernama Yusuf Alaihissalam dalam menahan godaan dari wanita adalah hasil buah pikirannya yang jernih serta keimanannya kepada Allah. Padahal pada saat itu kesempatan terbuka lebar dan tak ada penghalang sama sekali, dirinya pun sudah sangat berhasrat. Tetapi ia katakan “Aku berlindung kepada Allah”.

Ketabahan pemuda-pemuda Ashabul Kahfi dalam pelarian mereka juga karena keimanan kepada Allah dan kesadaran bahwa hanya dengan imanlah mereka bisa selamat. Mereka rela meninggalkan segala kesenangan di kota dan lari menuju goa demi mengindar dari kebatilan dan menyelamatkan aqidah.

Selamatnya pemuda sholeh putra Azar bernama Ibrohim dari api yang melalapnya pun juga hadiah dari rasa tawakal juga iman kepada Allah Subhanahuhu Wata’ala. Ketika dengan gagah berani ia menghancurkan berhala-berhala sesembahan kaumnya dan berdebat dengan mereka pasca insiden penghancuran itu. Sehingga kemudian ia divonis bakar. Bagaimana dengan Anda?

Standar Moralitas Keimanan Pemuda

SECARA fitrah pemuda memiliki sifat-sifat pemberani, pantang mundur, dan memiliki standar moralitas keimanan. Pemuda haruslah berkarakter khas yang berbeda dengan golongan lainnya. Di bawah ini ciri-ciri pemuda seperti tertulis dalam Al Quran:

1.Pemuda harus berani merombak dan bertindak revolusioner terhadap tatanan sistem yang rusak. Seperti kisah pemuda (Nabi) Ibrahim. “Mereka berkata: ‘Siapakah yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami? sungguh dia termasuk orang yang zalim, Mereka (yang lain) berkata: ‘Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala) ini , namanya Ibrahim.” (QS.Al-Anbiya, 21:59-60).

2.Pemuda harus memiliki standar moralitas (iman), berwawasan, bersatu, optimis dan teguh dalam pendirian serta konsisten dengan perkataan. Seperti tergambar pada kisah Ash-habul Kahfi (para pemuda penghuni gua).“Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka; dan Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri, lalu mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami tidak menyeru Tuhan selain Dia, sungguh kalau berbuat demikian, tentu kami telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran” (QS.18: 13-14).

3.Pemuda adalah seorang yang tidak mudah berputus-asa, pantang mundur sebelum cita-citanya tercapai. Seperti digambarkan pada pribadi pemuda (Nabi) Musa. “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun” (QS. Al-Kahfi,18 : 60).

Target Keberhasilan Membina Generus

“Kemudian kami jadikan kalian (umat Muhammad) sebagai generasi pengganti di bumi ini, setelah mereka (umat terdahulu), agar kami melihat bagaimana kalian berbuat” (QS: Yunus;14)

PADA hakekatnya apa yang kita capai saat ini, adalah hasil perjuangan di masa lampau, sedangkan yang akan kita peroleh di masa mendatang tergantung pada apa yang kita lakukan pada masa sekarang ini. Tiap-tiap generasi mempunyai tanggung jawab yang sama yaitu memelihara apa yang telah dicapai pendahulunya, kemudian meneruskan dan mewariskan kepada generasi berikutnya.

Perjuangan generasi penerus menyongsong era globalisasi, tentu tantangannya akan semakin berat, karena semakin ke depan, teknologi semakin canggih dan moral manusia semakin rendah. Diterangkan dalam hadits,’Tidak datang kepada kamu sekalian suatu tahun, kecuali tahun yang sesudahnya akan lebih jelek dari pada tahun sebelumnya.” (HR. At-Tobroni).

Dalam pembinaan generasi muda, LDII memiliki target yang akan dicapai, yaitu generasi muda yang memiliki berbudi pekerti baik, faqih dalam agama dan berilmu, serta mempunyai ketrampilan untuk hidup mandiri.

Seseorang dikatakan faham agama (faqihan fiddiin) dan berilmu jika dia memiliki penguasaan yang cukup tentang ilmu Al Quran dan Al Hadits. Oleh karena itu sebelum menjadi pemimpin seorang generasi muda sebaiknya banyak belajar ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan/sain. Umar bin Khatab berkata, “Barang siapa yang dijadikan pemimpin (Umara’) oleh kaumnya atas dasar faham (faqihan fiddiin) maka akan hidup baginya dan kaumnya; dan barang siapa yang menjadikan pemimpin (umaro’) oleh kaumnya atas dasar selain faham maka akan rusak baginya dan kaumnya (HR. Addaromi). Hal ini diperkuat oleh sabda Rasulullah Saw, “Tafaqqohuu qobla antusawwaduu” yang artinya, ”Usahakanlah menjadi orang yang faqih sebelum kalian dijadikan pemimpin.(HR. Albukhari).

Target ketiga adalah remaja yang memiliki keterampilan untuk hidup mandiri. Target ini untuk mengarahkan generasi muda dapat hidup mandiri, memiliki ketrampilan berupa kecakapan/ keahlian, pekerjaan/usaha yang sesuai dengan minat, bakat dan kemampuannya. Dengan ketrampilan yang mereka miliki, mereka akan lebih percaya diri dalam menapaki dunia usaha, sehingga usahanya bisa maju dan berkembang.

Di dalam hadits Rasulullah bersabda, “Ijmaluu fii tholabi addun-ya fa-inna kullan muyassarra lima khuliqo lahu.” Artinya, “Perbaikilah dalam mencari penghidupan dunia (yang halal), maka sesungguhnya tiap-tiap orang itu dimudahkan kepada apa yang diciptakan untuknya.” (HR.Ibnu Majah).

Untuk mendukung tercapainya tiga target keberhasilan generasi muda tersebut perlu kerjasama yang baik antara orang tua, ustadz/ustadzah, urofa’ (pengurus lingkungan/ masyarakat/ komunitas), umaro’, dan ahli pendidik/psykolog. Inilah yang kita sebut dengan kerjasama lima unsur.

Rumusan tersebut tentu saja baru berupa konsep yang bersifat das solen (sesuatu yang diharapkan/seharusnya), belum merupakan jaminan yang secara otomatis akan terwujud dengan sendirinya, tanpa usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapainya. Permasalahan utamanya adalah bagaimana mewujudkan rumusan tersebut menjadi keberhasilan yang nyata.

Oleh karena itu 5 (lima) unsur pembina generasi muda (orang tua, ustadz/ustadzah, urofa’, umaro’ dan ahli pendidik/psykolog) supaya bekerjasama yang baik untuk membina generasi muda.
Keberhasilan atas suatu target yang ingin dicapai sangatlah dipengaruhi oleh motivasi yang melatar-belakanginya, karena di dalamnya terkandung kebutuhan dan tujuan yang merupakan diterminan (factor penentu) penting yang mempengaruhi sikap dan perilaku. Dalam pembinaan generasi muda dengan menempatkan tiga target keberhasilan generasi penerus sebagai kebutuhan sekaligus tujuan, maka akan melahirkan sikap dan perilaku yang lebih bersemangat dan mengarah pada pencapaian tujuan karena didorong oleh suatu kebutuhan.

Pemuda yang Quwwatan Fii Diinin

Menurut sabda Rasulullah Saw. (HR. Al-Hakam), bahwa termasuk akhlaq/budi pekerti/ thobiat orang iman itu adalah:
1.Quwwatan fii diinin. Kuat memegang teguh pendirian dan keyakinan, tidak mudah terpengaruh keadaan, dan tidak lemah karena cobaan/ujian.
2.Wahazman fii liinin. Tegas dalam mengambil sikap, tetapi tetap berlapang dada dan mudah menerima nasehat/saran yang konstruktif (membangun).
3.Wa imanan fii yaqiin. Mantap dan yakin terhadap kebenaran yang diperjuangkan dan tidak ragu-ragu dalam menunjukkan kebenaran.
4.Wa hirson fii “ilmin. Selalu ingin bertambahnya ilmu sebagai modal pengetahuan dan kebenaran, tidak berhenti mencari ilmu selama hayat masih dikandung badan.
5.Wa syafaqotan fii miqotin. Selalu merasa khawatir dan takut jangan-jangan amal sholeh/baik yang telah dikerjakan belum cukup untuk bekal menghadap kehadirat Allah SWT, sehingga timbul semangat untuk beramal sholeh/baik terus.
6.Wa hilman fii “ilmin. Mempunyai sifat tekun, serta tidak mudah putus asa, hatinya sabar dan aris dalam menimba ilmu.
7.Wa qosdan fii ghinan. Mempunyai sifat sederhana dalam hidup, walaupun kaya tetapi tetap sederhana.
8.Wa tajammulan fii faqotin. Selalu menjaga kebersihan walaupun dalam keadaan miskin namun tetap menjaga harga dirinya dengan merias diri (berpenampilan bersih dan rapi).
9.Wa taharrujan ‘an thoma’. Merasa berdosa dari perbuatan tamak, bisa hidup sederhana dan qonaah terhadap pembagian rezeqi dari Allah.
10.Wa kasban fii halaalin. Dalam bekerja/ berusaha selalu memilih pekerjaan/ usaha yang halal.
11.Wa birran fii istiqomatin. Tetap istiqomah, rutin dan tekun dalam melakukan kebajikan.
12.Wa nasyathon fii hudan. Trampil dan semangat dalam perjuangan, dan tidak malas.
13.Wa nahyan ‘an syahwatin. Dapat mengendalikan diri, tidak selalu menuruti kesenangan/ hawa nafsu yang tidak bermanfaat.
14.Wa rahmatan lilmajhudi. Selalu memperhatikan dengan penuh kasih sayang terhadap orang yang berat menghadapi kehidupannya/ miskin.
15.Laa yahiifu ‘alaa man yubghidhu. Tidak menyimpang dari garis-garis kebenaran meskipun terhadap orang-orang yang selalu membuat dia marah dan geram.
16.Wa laa ya’tsamu fii man yuhibbu. Cintanya kepada seseorang tidak menjadikan dia melanggar larangan agama (berbuat dosa).
17.Wa laa yudhoyyi’u mastuudi’a. Tidak menyia-nyiakan titipan/kepercayaan yang diberikan kepadanya, kalau ada titipan/amanah akan segera disampaikan kepada yang berhak menerimanya.
18.Wa laa yahsudu wa laa yath’anu wa laa yal‘anu. Tidak mempunyai sifat dengki, tidak suka memnuduh jelek dan melaknat sesama orang iman.
19.Waya’tarifu bilhaqqi wa illam yasy-had ‘alaihi. Mau mengakui kesalahan yang diperbuat walau tidak ada yang menyaksikan.
20.Wa laa tanabazu bil-alqob. Tidak memanggil saudaranya dengan pangilan yang menyakitkan hati.
21.Fii sholaati mutakhosyi’an ilaa zakati musri’an. Selalu khusyu’ di dalam sholat, dan cepat-cepat memngeluarkan zakat ketika sampai nisobnya.
22.Filzalaazili waquuran. Tabah, sabar dan tahan uji.
23.Fii rakha-i syakuuran. Banyak bersyukur di waktu luang.
24.Qoni’am billadzi lahu laa yudda’i maa laisa lahu. Hanya mau menerima yang menjadi miliknya dan tidak mengakui barang yang bukan miliknya.
25.Wa laa yajmi’u filghoidh. Tidak menaruh dendam dan menyimpannya menjadi permusuhan dan kerusakan diantara orang iman.
26.Wa laa yaghlibuhu asysyuhu ‘an ma’ruf. Sifat kikir dan bakhilnya tidak mencegah untuk berbuat kebaikan, walau berat adanya.
27.Yuriduhu yukhalithunnasa kaiya’lama wayunathiquhum kaiyaf-hama. Mau bergaul dengan masyarakat umum dengan tidak membedakan suku, ras, agama dan golongan untuk mengerti keadaan dan berdialog pada mereka untuk memahami keadaan mereka.
28.Wa indhulima wabughiya ‘alaihi sobaro hatta yakuuna arrahmaanu huwalladzi yantashiru lahu. Jika dianiaya dan dibuat sewenang-wenang atas dirinya tetap sabar sampai Allah Yang Maha Pemurah menolongnya.

Ketika Kaum Glamour Menjadi Idola

Dampak kasus beredarnya video mesum artis ternama beberapa waktu silam merupakan persoalan yang harus disikapi tegas oleh semua pihak. Upaya melindungi generasi muda dari proses dekadensi moral menjadi alasan kuat mengingat pelaku-pelaku yang diduga “beratraksi” dalam video itu adalah para public figure yang sedikit banyak menjadi contoh perilaku anak-anak muda kita.

APA yang terjadi dengan video tersebut menunjukkan kemerosotan moral figur publik yang makin nyata. Mereka bukanlah pasangan suami-istri, sehingga hubungan intim yang mereka lakukan dikategorikan sebagai perzinaan. Perilaku mereka telah mendesakralisasi hubungan laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan dan dikhawatirkan merusak moral generasi muda yang mengidolakan mereka.

Jika dahulu perbuatan tersebut masih tertutup dan malu-malu dilakukan, sekarang makin terbuka, bahkan ada yang bangga dengan perbuatan tersebut. Sekarang ini para artis tidak saja melakukan pornoaksi dan pornografi, tetapi juga perbuatan kriminal lain, seperti menyalahgunakan narkoba. Ini memberi andil pada keruntuhan moral bangsa. Sebab, sebagai figur publik, mereka diidolakan oleh anak muda sehingga apa yang mereka perbuat bisa ditiru.

Para artis bagaikan magnet yang mampu menyedot antusiasme dahsyat kalangan remaja kita. Soal idola, kata yang satu ini seolah-olah sudah mendarah daging dalam dunia remaja. Anehnya, kebanyakan tokoh yang diidolakan para remaja adalah kaum selebritis (penyanyi, bintang film, bintang iklan, model, pemain sinetron). Sikap mengidola ini bukan tidak mungkin bisa berubah menjadi “pemujaan” sehingga tanpa sadar para remaja kemudian mengikuti gaya hidup para selebritis. Mulai dari soal pakaian, dandanan rambut, segala macam aksesori yang menempel, selera musik hingga pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan, semuanya ingin ditiru.
Yang lebih mengkhawatirkan, ketika kaum selebritis dipandang sebagai teladan hidup. Tanpa bermaksud mengkambing-hitamkan keberadaan selebritis, namun kenyataannya memang tidak bisa dipungkiri bahwa dunia selebritis tak sepi dari berbagai kehidupan glamor, pesta, bahkan tak sedikit yang nyenggol-nyenggol narkoba dan seks bebas. Masih bagus kalau selebritis yang diidolakan itu terbilang “bersih” dari hal-hal semacam itu. Namun, kalau yang diidolakan itu doyan pesta (narkoba maupun seks), bagaimana jadinya remaja kita jika mencontek perilaku mereka. Ekspresi yang berlebihan dalam memperlakukan idola ini bukan tidak mungkin dapat menjebak remaja hidup di bawah bayang-bayang “keagungan” sang idola.

Hal ini dikhawatirkan membuat remaja tak bisa menjadi dirinya sendiri (mandiri). Kerinduan masyarakat terhadap kehadiran sang idola, sebenarnya adalah sesuatu yang lumrah. Secara psikologis, ia merupakan “penampakan” dari proses identifikasi dan pencarian jati diri. Fenomena normal dan universal itu terutama menggejala di kalangan remaja. Sebagai anak baru gede (ABG), mereka butuh figur nyata yang layak dikagumi dan diteladani. Karena itu, dalam batas-batas sebagai sebuah gejala perkembangan kejiwaan, sesungguhnya tidak ada hal yang perlu dirisaukan.

Masalahnya kemudian menjadi rumit dan mencemaskan manakala fenomena psikologis yang normal dan universal itu ditunggangi dan dimanipulasi oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat struktural, baik yang datangnya dari pusat kekuasaan yang cenderung hegemonistik maupun dari jaringan kepentingan bisnis yang cenderung monopolistik. Dalam kondisi begitu, kekaguman orang pada sosok tertentu sudah tidak jujur lagi. Hal itu penuh kepalsuan, sarat dengan rekayasa, dan cenderung hipokrit dan irasional. Produk seni pun tidak lagi mengacu kepada keluhuran nilai-nilai estetika, etika, dan agama. Bahkan yang berlangsung sebaliknya. Nilai-nilai estetika, etika, dan agama sengaja ditenggelamkan demi mengumbar syahwat “keserbabolehan” alias permisivisme.
Tak disangkal lagi, televisi dan dunia maya (internet) kini menempati posisi yang demikian strategis. Pada posisi itu, kedua media ini, menurut Neil Postman, telah menjadi agen yang punya “kekuatan magnetis”, mampu menyedot sejumlah orang untuk menjadi “pengguna yang tekun”, pemirsa yang betah berjam-jam memelototi layar kaca dan berselancar di dunia maya. Sebagai instrumen terpenting dalam kebudayaan massa, pengelola program mengemas dan mendesain dengan rapi lewat berlapis-lapis citra selebritis. Apa yang dilakukan, dimakan, dikenakan, dan dibeli oleh sang idola menjadi hal yang terlampau penting untuk dilewatkan publik penggemarnya. Kepentingan para pebisnis tampak kental di situ.

Media massa remaja (majalah maupun media online) yang mengekspose kaum selebritas bisa dipastikan kebanjiran iklan lantaran pembacanya memang banyak. Berawal dari rasa ingin tahu seseorang terhadap orang lain yang begitu besar, para pebisnis pun menangkap peluang tersebut. Lihatlah di berbagai majalah remaja, yang paling banyak diekspose adalah kaum selebritis. Dari mulai gosip, gaya hidup, sampai karier mereka, semuanya ditampilkan.

Betapa berderetnya berita yang menampilkan dunia kaum glamour ini. Meski bukan berita besar, semisal berita selebritis yang berulang tahun, seputar koleksi sepatu, tas, topi, ikat pinggang atau bagaimana mereka menikmati liburan, semua menjadi berita yang laku keras diserbu penggemar. Semua itu dibuat seolah-olah memang agar para remaja memasangnya sebagai idola. Awalnya bisa saja hanya sekadar simpati, tapi lama-kelamaan, karena terus diekspos dengan hebohnya, maka perasaan mengidola itu jadi kian kental. Yang juga tak kalah mengkhawatirkan, yakni remaja kita terus dibuai dengan berita-berita “sampah” yang memang tidak ada hubungannya dengan persoalan kehidupan manusia yang berat dan kritis.

Remaja pun dirasuki jiwa ketidakpedulian terhadap kondisi sekelilingnya. Daripada uang ratusan ribu dipakai menonton konser yang senangnya sesaat misalnya, kalau dana itu disumbangkan untuk teman-teman mereka yang kelaparan di pengungsian akibat bencana, tentu akan lebih bermanfaat dan melatih remaja untuk memiliki solidaritas. Mengapa media yang ada tidak menjadi jalan bagi bangkitnya sikap kepedulian mereka terhadap sesama ketimbang menawarkan banyak hal yang membuat remaja berpikir dan bersikap individualis, tak mau tahu apa yang terjadi di sekelilingnya?

Bagi mereka, yang penting happy. Ini tentu berbahaya bagi pertumbuhan kepribadian mereka ke depan. Sebab, bukankah masa depan suatu bangsa terletak di tangan para generasi muda? Jika kini banyak generasi muda yang rusak, akan jadi apa bangsa ini kelak? Akankah bangsa ini nanti kita serahkan kepada generasi seperti itu? Generasi yang hanya memikirkan kesenangan sendiri, tanpa mau peduli terhadap nasib orang lain?

Hasil Surey Tentang Krisis Moral

RAPORT buruk yang dikeluarkan pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) baru-baru ini membuat sejumlah orang tua khawatir tentang pergaulan putra-putri mereka. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh KPAI di 33 provinsi di Indonesia selama bulan Januari hingga September 2010 dinyatakan bahwa sebesar 62,7 persen remaja mengaku tidak perawan.

Kenyataan ini terungkap dalam sebuah diskusi mingguan yang digelar Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIKR) MA Al Maa’uun, Cianjur. Konselor PIKR MA Al Maa’uun Asep Saepurochman mengatakan, fakta yang mencuat dalam diskusi ini merupakan pengetahuan dan sikap awas agar orangtua selektif terhadap pergaulan remaja saat ini.

“Dari hasil survey yang dilakukan oleh KPAI dapat diketahui ternyata sebanyak 21,2 persen menyatakan pernah aborsi, 97 persen pernah nonton film porno, 93,7 persen pernah berciuman atau meraba alat kelamin dan oral seks. Hasil ini sungguh membuat kita miris dan perlu penangan segera,” ujarnya.
Dia menambahkan, selain peran orang tua, peran guru juga sangat membantu dalam mencegah meluasnya perilaku menyimpang dikalangan pelajar. Dengan membentuk ektrakurikuler dinilai bisa mengarahkan para pelajar untuk bersikap lebih baik.

“Hasil ini bukan untuk menyalahkan siapa atas apa, tapi lebih membuat kita harus merenungkan apa yang bisa kita perbuat untuk mengurangi bahkan mencegah terjadinya perilaku bebas dikalangan pelajar,” tandasnya.

Data yang mencengangkan juga pernah dirilis oleh Sony Adi Setiawan, seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Menurutnya, 750 hingga 900 video porno sudah dibuat dan diedarkan di Indonesia. Mayoritas merupakan video amatir hasil rekaman kamera ponsel. Pembuatnya 90% kawula muda, dari pelajar SMP hingga mahasiswa.

Di dunia maya, saat ini ada sekitar empat juta situs web pornografi. Sebanyak 90 ribu diantaranya menampilkan pornografi anak-anak. (Koran Tempo, 16 Mei 2010). Sementara pengakses internet  terbesar menurut hasil riset Yahoo Indonesia dan Taylor Nelson Sofres pada tahun 2009 adalah kalangan remaja usia 15-19 tahun, yakni sebesar 64%.

Pertanyaannya sekarang adalah apa yang menyebabkan semua itu bisa terjadi? Jika kita memetakan sebab terjadinya pergaulan bebas, setidaknya kita akan menemukan dua faktor utama. Faktor internalnya, karena mereka tidak paham agama, tingkat keimanan yang rendah, keluarga yang berantakan (broken home), atau merasa pada fase mencari jati diri. Sementara faktor eksternal, para remaja mendapatkan pengaruh negatif dari lingkungan pergaulan, media massa (terutama televisi), tempat-tempat hiburan malam, dan secara pemikiran remaja kita telah terkena serangan sekularisme dengan paham kebebasan berekspresinya (hurriyatus syakhsiyah).

Menghadapi persoalan ini, kita tidak bisa menyelesaikan secara personal. Harus secara bersama-sama dan sistemik. Karena akar persoalannya bukan sekedar persoalan individu atau keluarga, melainkan juga dipengaruhi oleh sistem kehidupan. Tindakan preventif harus dilakukan secara individu, keluarga dan masyarakat.
Keluarga merupakan benteng yang kuat untuk menjadi pertahanan bagi remaja dari berbagai gangguan yang dihadapinya dalam kehidupan masyarakat. Selain keluarga, kontrol masyarakat juga tidak kalah pentingnya. Tradisi amar ma’ruf nahi munkar yang ada di tengah-tengah masyarakat harus terus ditingkatkan. Secara bersama-sama masyarakat harus mengawal lingkungannya agar terbebas dari tindakan atau perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja.
Pencegahan pergaulan bebas remaja juga harus didukung oleh negara. Negara harus berperan dalam melindungi generasi muda melalui proteksi terhadap siaran/pemberitaan media (cetak, televisi dan online). Tempat-tempat hiburan malam dan berbagai jenisnya yang menjadi sarana bagi pergaulan bebas harus dibubarkan. Negara harus menerapkan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya.

Solusi Islam dalam Pembentukan Moral

DEKADENSI moral sudah menjadi fenomena umum yang melanda umat manusia sekarang ini. Terutama peradaban barat yang menyuarakan kebebasan telah mengalami kerusakan moral yang luar biasa. Ironisnya budaya barat yang sudah mengalami kerusakan moral itu mereka sebarkan ke negeri-negeri muslim. Akibatnya, budaya lokal masyarakat muslim terkontaminasi dengan budaya barat, dan pada akhirnya budaya lokal mengalami kegoncangan dan semakin dekat dengan gaya hidup barat. Indonesia adalah salah satu korbannya.

Melihat perkembangan terakhir umat Islam di Indonesia tergambar dengan jelas betapa merosotnya akhlak sebagian umat Islam. Dekadensi moral terjadi terutama di kalangan remaja. Sementara pembendungannya masih berlarut-larut dan dengan konsep yang tidak jelas.
Rusaknya moral umat tidak terlepas dari upaya jahat dari pihak luar umat yang dengan sengaja menebarkan berbagai penyakit moral dan konsepsi agar umat goyah dan berikutnya tumbang. Sehingga yang tadinya mayoritas menjadi minoritas dalam kualitas. Keadaan semakin buruk ketika pihak aparat terlibat dan melemahnya peran ulama dan tokoh masyarakat.

Generasi muda sekarang sudah tercengkeram fenomena pergaulan bebas (free life style). Gaya hidup seperti ini sebenarnya sangat jauh dari nilai-nilai Islam dan budaya Indonesia. Namun karena ada kalangan tertentu yang ingin merusak moral bangsa, maka lambat laun generasi muda kita akhirnya terjebak juga. Dalam hal ini, peran media sangatlah besar, baik media cetak maupun elektronik. Coba kita lihat tayangan televisi yang bertema dunia sekolah, bukannya mengajak anak-anak Indonesia untuk rajin belajar, film-film yang ada malah mengajak mereka untuk berpacaran, hura-hura dan bergaul bebas. Imbasnya benar-benar dirasakan oleh anak-anak Indonesia, dari masyarakat kota sampai masyarakat desa. Akibatnya mereka mengalami kemerosotan moral yang cukup signifikan.

Kaum perempuan terseret jauh kepada peradaban Barat dengan slogan kebebasan dan feminisme yang berakibat kepada rusaknya moral mereka, maka tak jarang mereka menjadi sasaran eksploitasi. Dengan dalih kebebasan berekspresi, setiap inci tubuh perempuan dijadikan komoditi. Membuka aurat, bahkan sampai adegan berzina pun dilakoni, asal mendatangkan materi. Aurat perempuan dilombakan dan dinilai, mana yang paling mendatangkan ‘hoki’. Anehnya, dengan penuh kesadaran, kaum perempuan antri minta diekploitasi; bahkan semakin hari kian menggila.

Untuk mengatasi kerusakan moral yang sudah kronis seperti ini, Islam mempunyai solusi tepat untuk dapat mengurangi dan meredakan hal itu. Konsep Islam yang mengajarkan akhlak al-karimah adalah satu hal yang ampuh dalam mengatasi kerusakan moral. Bahkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan akhlak.

Dekadensi moral yang berupa pergaulan bebas, apabila umat Islam kembali kepada ajaran Islam, maka secara tegas Islam melakukan tindakan preventif dengan ayat al-Qur’an yang mengatakan “wala taqrabu zina”, jangan kamu mendekati zina. Prakteknya, Islam melarang umat melakkan perbuatan yang bisa mengarah ke perzinaan, seperti: SMS-an, chatting, facebook-an, pacaran, lelaki dan perempuan bukan mahrom berduaan di tempat sepi, goncengan, dll.
Hal ini adalah tindakan antisipatif yang Islam berikan untuk mencegah terjadinya pergaulan bebas. Dalam Islam juga dikenal istilah mahrom, dua orang lawan jenis yang bukan mahrom dilarang melakukan hubungan, kecuali keduanya telah menikah. Selain itu, Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga kesucian dengan menutup aurat dimana ia tak didapati dalam ajaran-ajaran lain. Dalam Islam menutup aurat adalah hukumnya wajib bagi pria dan wanita. Ha itu tidaklah lain untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya.

Jika sistem Islam diterapkan secara kafah tentu persoalan pergaulan bebas tidak akan terjadi. Dalam sejarah panjang penerapan Syariah Islam dari masa Rasulullah hingga jatuhnya Kekhilafahan Turki Utsmani, kita tidak pernah mendapatkan persoalan ini mengemuka di tengah masyarakat.

Membangun Generasi Berakhlakul Karimah

“Tidak datang suatu zaman melainkan orang-orang yang sesudahnya lebih jelek dari sebelumnya hingga kalian menemui Rabb kalian. Dan aku dengar hal ini dari Nabi kalian.” (Riwayat Ahmad, Al-Bukhari, dan At-Tirmidzi).

MANUSIA selalu berharap masa depan sebagai masa yang lebih baik, teknologi yang lebih maju, kehidupan yang lebih nyaman dan lebih memudahkan. Demikianlah yang terjadi hingga saat ini. Tahun demi tahun, manusia mengembangkan teknologi sehingga hidup manusia lebih nyaman dan mudah.
Setelah ribuan tahun menunggang kuda, saat ini manusia mengendarai kendaraan yang lebih cepat. Telepon genggam yang dulu cuma ada di novel atau film fiksi ilmiah kini sudah mewabah sampai kalangan masyarakat bawah. Informasi yang dulu harus tersimpan dalam tulisan di atas kertas kini mudah tersebar lewat jaringan informasi.
Secara lahir, manusia menemukan kenyamanan, kemudahan, dan kebaikan dari zaman yang terus maju. Namun hakikatnya tidak demikian. Satu hari dilalui, satu hari pula jatah kelangsungan dunia ini berkurang. Satu hari dilalui, semakin dekatlah akhir dunia. Satu zaman berlalu, zaman berikutnya adalah lebih buruk dari yang lalu.
Cobalah perhatikan kondisi pada akhir-akhir ini, jelas terlihat adanya gejala demoralisasi di masyarakat. Kejahatan dan kekerasan hampir menjadi konsumsi kita setiap hari di surat kabar dan televisi. Perzinahan, aborsi dan kasus kecanduan narkoba menduduki peringkat tertinggi yang terjadi pada generasi muda. Selain itu arus informasi yang masuk hampir tanpa batas, seperti mode/gaya hidup orang barat, telah diadopsi tanpa filter (saringan) dan dijadikan sebagai suatu kebiasaan dan kebanggaan.
Fenomena ini hendaknya dijadikan sebagai bahan renungan bagi kita. Apakah selama ini kita menjaga diri, keluarga dan masyarakat di sekitar kita agar tidak terkena dampak demoralisasi. Ataukah selama ini kita lupa dan melalaikannya. Padahal Allah dengan jelas memberikan perintah kepada kita dalam firmanNya, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (At-Tahrim: 6).
Kita harus mewaspadai gejala ini, sebab jika tidak, akan menimbulkan preseden buruk bagi generasi yang akan datang. Kita bisa membayangkan seperti apa jadinya generasi yang akan datang jika generasi sekarang seperti ini. Dan inilah yang Allah gambarkan sebagai generasi yang buruk, suatu generasi yang akan membawa pada kehancuran dan kesesatan.
Allah berfirman, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang buruk) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”. (Maryam: 56). Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa ada dua karakter utama dari generasi yang buruk yaitu menyia-nyiakan shalat dan ‘wattaba’usy-syahwat, memperturutkan hawa nafsu.
Karakter pertama dari generasi yang buruk adalah menyia-nyiakan shalat. Karakter kedua adalah memperturutkan hawa nafsu. Ke mana hawa nafsunya condong, ke situlah ia berjalan. Generasi seperti ini tidak memperdulikan apakah sesuatu yang ia lakukan halal atau haram, dosa atau berpahala, yang terpenting bagi mereka tercapai semua yang diinginkannya. Dalam hal berpakaianpun yang penting mode atau sedang trend, tidak peduli apakah pakaian tersebut menutupi aurat atau malah mempertontonkan aurat. Generasi seperti ini hanya akan membawa kesesatan hidup di dunia dan di akhirat.

Oleh karena itu, persiapan pembentukan generasi yang akan datang mutlak suatu keharusan yang tidak bisa dibantah lagi. Sehingga perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, baik yang berkaitan dengan akidahnya, pendidikannya, muamalahnya, juga yang berkaitan dengan akhlaknya, sehingga pergantian generasi yang berlangsung menghasilkan generasi baru yang lebih baik daripada pendahulunya.